Perkembangan Teknologi Telah Merubah Wajah Dunia. .
JAKARTA, INFO REALITA- Pesatnya perkembangan Teknologi lnformasi telah merubah wajah dunia menjadi tanpa batas (Borders world). Dalam berbagai sektor kehidupan, praktis kondisi ini orang semakin mudah melakukan komunikasi dengan orang lain diberbagai belahan bumi. Hal ini diungkapkan KH. Marsudi Syuhud saat kegiatan International Figh Conference. Contemporary Transactions in Digital Finance From Islamic Jurisprudence Perpective di Nuri room Jakarta Convention Center, Rabu (5/10/2022).
“Tinggal klik, “OK”, orang bisa memperoleh informasi, berkomunikasi, bertransaksi maupun melakukan berbagai aktifitas yang mereka inginkan, “ungkap Marsudi
Oleh karena itu, lanjut Marsudi, keuangan digital telah menjadi transaksi kontemporer yang terkenal dan aplikasi utama lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, e-commerce, dan Fin Tech.
Lembaga sosial juga menggunakan teknologi digital dalam menghimpun dana masyarakat secara luas.
Apalagi, tambah Dia, keuangan digital merupakan kebutuhan dan tidak dapat dihindari di era modern yang telah mengubah cara kita melakukan transaksi.
Sebagai salah satu sistem keuangan global, keuangan syariah yang dijalankan oleh Lembaga Keuangan Syariah memainkan peran penting dalam menyediakan layanan berbasis digital untuk mendukung pengembangan ekonomi dan keuangan syariah, tambahnya.
Dalam dunia bisnis, yang semula dilakukan secara tradisional melalui kontak fisik, yaitu dengan bertemunya penjual dan pembeli dalam satu (1) majelis, tel ah berubah menjadi konsep telemarketing atau perdagangan jarak
jauh di dunia virtual dengan menggunakan media elektronik, internet yang dikenal dengan istilah Electronic Commerce. ECommerce, telah mengubah cara konsumen untuk memperoleh produk yang diinginkan dengan mengurangi formalitas yang digunakan dalam transaksi konvensional, terangnya.
Akan tetapi menurut Marsudi, kemudahan dan keuntungan yang diberikan dalam transaksi digital, lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, e-commerce, dan FinTech, dalam realitasnya rentan dengan berbagai kecurangan dan penipuan baik dari sisi produsen ataupun konsumen.
Marsudi yang saat ini menjabat Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) menggambarkan sejumlah kasus yang pernah terjadi dalam transaksi ini, misalnya: pada tahun 2000 SA dan RD melakukan akses ilegal terhadap jaringan komputer perbankan Citibank dan BNI Cabang New York dengan menggunakan password yang telah mereka ketahui dan berhasil mentransfer dana ke beberapa bank asing sejumlah US$ 9.100.000 ( Harian Pikiran Rakyat 29 November 2000).
Kemudian, tahun 2002, Polda Jawa Barat berhasil menangkap 4 orang mahasiswa Bandung yang menyalahgunakan kartu kredit melalui internet yang diperoleh dengan mengakses melalui www. LinuxstopSs2.com/ downloads/creits/ ticeo/ 02022.txt ( Kompas 4 Februari 2002).
Kasus lain yang pernah terjadi misalnya, penyalahgunaan nama domain Mustika Ratu; Situs BCA yang digunakan sebagai jual beli gambar-gambar porno. Dan kasus terakhir dalam berita televisi adalah penipuan dua orang mahasiswa Medan terhadap Merchandiser Asing Juni 2008.
Bahkan, kasus yang baru-baru ini terjadi di Indonesia, peretasan data Bjorka hacker. Kekurang pahamnya konsumen terhadap mekasnisme transaksi dan kurang jelasnya informasi yang diberikan produsen mengenai produk yang ditawarkan, hal ini bisa menjadi penyebab rentannya kecurangan dalam transaksi ini. Semakin mudahnya masyarakat mengakses internet dan tidak bertemunya para pihak secara fisik dan emosional, juga memungkinkan konsumen yang hendak memesan produk bisa saja hanya sekedar iseng atau terjadi penipuan identitas konsumen atau bahkan produsen.
Masalah lain juga dihadapi oleh konsumen muslim sebagai bagian dari penduduk dunia yang tentunya tidak bisa terhindar dari arus ekonomi global.
Permasalahan tentu tidak bisa dikatakan sederhana ketika, produk yang belum diketahui secara nyata saat akad terjadi, karena informasi produk tidak jelas, ternyata tidak halal. Padahal prinsip halal dan toyyhib bagi suatu produk, menjadi kunci utama bagi umat Islam.
Allah SWT berfirman: Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. “(Alqur’an Albaqoroh: 168).
Berangkat dari pengalaman tersebut, kajian ini akan menfokuskan pada transaksi e- commerce lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, e-commerce, dan FinTech, ditinjau dari sisi hukum Islam. Yang pada prisnsipnya mengacu pada tiga hal :
1. Mengintegrasikan Nilai-nilai hukum tetap (Hukum yang berasal dari Quran dan Sunnah) dan Perkembangan zaman, atau menyatukan doktrin pandangan madzhab-madzhab dan Aturan. Yang pada perkembangannya jika tidak di temukan nash yang zhorih maka kita berpijak pada.
2. Mengintegrasikan dua kemaslahatan I Kepentingan, Kemaslahatan khusus dan kemaslakhatan umum, atau secara khusus merekonsialisasikan dan menyeimbangkan antara kemaslahatan yang saling bertentangan.
3. Mengintegrasikan kemaslahatan material dan kebutuhan Spritual, atau terutama perasaan dan ketaatan kepada Allah dalam setiap tindakan.
Pada prinsip ini dapat dikatakan bahwa :
Inti Ekonomi Islam adalah kemaslahatan.
Rekonsiliasi antara kemaslahatan individu dan kemaslahatan umum jika terjadi konflik.
Dalam hal perkembangan zama
Transaksi lembaga keuangan seperti perbankan, pasar modal, e-commerce, dan FinTech.
Gambaran Awai Pemicu awal maraknya bisnis melalui dunia maya, dipengaruhi oleh perkembangan World Wide Web yang didesain oleh Tim Benners-Lee dan Staf Ahli di Laboratorium CERN (Counceil European pour la Recheche Nucleaire) Jenewa Swiss pada tahun 1991 ( Triton PB,2006:12).
Masih dalam wacana di atas, bentuk kontrak elektronik yang selama ini berkembang antara lain seperti misalnya:
(1). Kontrak bisnis melalui e-mail yang dikombinasi dengan komunikasi elektronik lainya berupa faks;
(2). Kontrak melalui web sites dan jasa online lainnya dengan cara mengisi formulir penawaran yang terpampang pada layar monitor;
(3). Kontrak yang berisi Elektronik Data Interchange ( EDI), yaitu suatu pertukaran informasi bisnis elektronik dalam computer roscessable format melalui komputer milik mitra dagang ( trading partners) dan ;
(4). Kontrak melalui lisensi clic-wrap dan shrink-wrap, dimana pengguna dapat klik”I accept” atau ” I don’t accept”. atau lainnya.
Dalam hal hukum-hukum tetap hukum fiqih model transaksi seperti diatas dapat mengacu pada, kesamaan karakteristik antara e-commerce dengan jual -beli salam. Misalnya: ada konsumen (consumers); pedagang (merchant); barang sudah ada walaupun masih dalam tanggungan penjual; uang dan; sighat, yang dalam hal ini diilustrasikan dalam bentuk format baku dan kesepakatan ketika pembeli meng-klik kata “setuju” atau “OK”.
Perbedaannya hanya terletak pada, tidak bertemunya antara penjual dan pembeli dalam satu majlis. Model perdagangan salam sebenarnya telah Diikenal dalam Islam sejak lama.
Menurut para ulama perdagangan salam, sah menurut hukum Islam apabila dilakukan dengan itikad baik; prinsip saling tolong menolong ; saling ridla (tidak ada paksaan) dan; sesuai dengan rukun dan syarat (Sulaiman Rasyid, 1976: 283). Rukun jual-beli salam, antara lain: ada penjual dan pembeli, barang dan uang dan sighat ( lafalz Aqad). Sedangkan syarat jual -beli salam, antara lain: uang dibayar di majlis akad (dibayar terlebih dahulu); barang menjadi utang si penjual; barang ada sesuai waktu yang diperjanjikan; barang jelas ukurannya, takaran, timbangan atau bilangan ; disebutkan sifat-sifat barang secara jelas dan; disebut tempat Menenmanya.
Hal tersebut dipertegas oleh Fatwa DSN MUI No: 05/ DSNMUI/IV /2000 tentang jual-beli salam, yang menyatakan bahwa: “Akad dalam jual-beli salam adalah sah apabila memuat secara rinci dan jelas mengenai ketentuan pembayaran dan ketentuan produk yang dijual sesuai dengan kesepakatan kedua pihak.
Apabila dalam pelaksanaan akad tidak memenuhi isi yang telah diperjanjikan, maka pembatalan salam boleh dilakukan selama tidak merugikan kedua pihak”.
Akan tetapi, perkembangan segmentasi e-commerce walaupun membawa keuntungan bagi kedua pihak (pelaku usaha dan konsumen), tetap saja kelemahan di dunia maya lebih banyak dibanding dengan model transaksi ko nvens i ona I.
Misalnya, mengenai produk yang tidak diketahui sebelumnya secara nyata oleh konsumen; tidak bertemunya secara fisik antara penjual dan pembeli saat bertransaksi, sehingga apabila identitas masing-masing pihak tidak dicantumkan secara jelas akan merugikan keduanya terutama konsumen sebagai pihak yang bargainaing positionnya lebih lemah dari pelaku usaha; perjanjian baku yang berat sebelah; produk yang diterima konsumen tidak sesuai dengan yang dipesan pada saat transaksi atau bahkan promosi barang tidak sama dengan produk yang dijual; tidak ada informasi yang jelas mengenai produk, karena dalam menawarkan produknya pelaku usaha hanya memperlihatkan gambar dan deskripsi produk tersebut; tidak adanya informasi label halal; terlambatnya pengiriman barang; sulitnya claim apabila barang terlambat atau tidak sesua1 pesanan.
Oleh karena itu, dengan itikad baik yang tumbuh menjadi sebuah kesadaran akan tanggungjawab, baik pada diri sendiri, masyarakat maupun kepada Allah SWT, lnsyaallah perilaku sebagaimana Ilusstrasi di atas paling tidak bisa diminimalisir atau bahkan dihilangkan sama sekali.
(Kemudharatan Dihilangkan Sebisa Mungkin)
Untuk menjaga bertransaksi secara digital ataupun konfensional tetap fair maka harus berpegangan pada prinsip keadilan sebagaimana Firman Allah SWT :
” Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat dengan taqwa” ( QS,5:8).
Keadilan adalah tujuan yang seharusnya diwujudkan dalam perjanjian. Transaksi digital, e-commerce yang dibuat dalam bentuk kontrak baku, seharusnya memperhatikan prinsip keadilan dengan cara, memberikan informasi yang jelas mengenai mekanisme transaksi ataupun aturan – aturan baku dalam bertransaksi. Misalnya tentang:
Syarat – syarat yang harus dipenuhi oleh konsumen dalam melakukan transaksi, seperti mengisi data pribadi dan alamat lengkap pada form yang ada pada website pelaku usaha;
Kesempatan bagi konsumen untuk mengkaji ulang transaksi yang akan dilakukan, hal ini dimaksudkan untuk menghindari kesalahan yang dibuat oleh konsumen. Seperti, adanya fasilitas cancel order atau batal atau I don’Agree yang dapat diklik oleh konsumen jika tidak ingin melanjutkan atau membatalkan transaksi;
Harga dari produk yang ditawarkan, apakah sudah termasuk ongkos kirim atau belum;
1nformasi mengenai dapat atau tidaknya konsumen mengembalikan barang yang sudah dibeli beserta mekanismenya.
Hal ini sangat penting dimengerti oleh konsumen, karena tidak semua barang yang menjadi pesanannya itu diterima dengan sempurna, ada kemungkinan rusak pada saat pengiriman ataupun barang tersebut cacat produksi. Sehingga konsumen dapat mengembalikan barang tersebut sesuai dengan mekanisme yang telah ditentukan oleh pelaku usaha dan konsumen mendapatkan barang yang baru lagi;
Mekanisme penyelesaian sengketa. Hal ini sangat penting diinformasikan dengan jelas oleh pelaku usaha kepada konsumen, karena tidak selamanya suatu transaksi berjalan dengan lancar, adakalanya sengketa antar pelaku usaha dengan konsumen terjadi;
Jangka waktu pengajuan klaim yang wajar ( reasonable time);
Adanya rekaman transaksi ( record of transaction) yang setiap saat bisa diakses oleh konsumen, sehingga dapat dijadikan suatu bukti di persidangan jika terjadi sengketa antara pelaku usaha dan konsumen. Misalnya, fasilitas History Transaction;
Mekanisme pengiriman barang yang jelas dan ;
Jaminan keamanan dalam bertransaksi.
Kedelapan asas tersebut, bisa dijadikan sebagai rule of the game dari transaksi-transaksi yang pada intinya adalah menolak masalah yang didahulukan daripada mengambil kemaslahatan. (Red)